Pengujian Kosmetik pada hewan: Bagaimana Etika dan Perlindungan Hukumnya?

Clara Anisya Aprilinda[1], Faiq Rizqi Aulia Rachim[2]

Penggunaan hewan sebagai media percobaan atau yang dikenal sebagai Animal Testing telah berkembang sejak awal domestikasi hewan oleh manusia. Seiring perkembangan waktu, penggunaan hewan sebagai media percobaan menjadi suatu hal yang umum, salah satunya dalam industri kosmetik. Saat ini, praktik animal testing dalam industri kosmetik mencapai angka 500.000 (lima ratus ribu) hewan tiap tahunnya di seluruh dunia.[3] Pengujian terhadap hewan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya tidak jarang berakhir pada kematian pada hewan-hewan tersebut.

Problematika Etika penerapan  Animal Testing

Animal testing menuai perdebatan dari berbagai perspektif terkait dengan pertimbangan etis mengenai percobaan pada hewan. Pendukung animal testing berorientasi pada kepentingan manusia semata. Kalangan ini beranggapan animal testing merupakan cara paling efektif dalam rangka proses penelitian. Selain itu, animal testing bertujuan untuk menghindari produk-profuk yang berpotensi mencelakai manusia. Manusia sebagai konsumen akan merasa lebih aman ketika memakai produk make-up ketika telah diuji klinis dan telah dinyatakan aman. Sehingga, penerapan animal testing dinilai akan memberikan pengaruh positif bagi kepentingan manusia dan menghindarkan manusia dari kemungkinan dampak terburuk.

Kemudian, sebaliknya kalangan yang menolak menganggap bahwa animal testing merupakan bentuk dari keserakahan manusia. Walaupun begitu, kalangan ini terbagi menjadi dua macam jenis yang memiliki landasan yang berbeda, yaitu pendukung hak asasi hewan dan pendukung kesejahteraan hewan. Pendukung hak asasi hewan menentang segala bentuk penelitian uji coba terhadap hewan karena hewan bukan merupakan penunjang kehidupan manusia, dimana hewan merupakan makluk hidup yang memilik kesempatan untuk mendapatkan kedudukan yang sama sebagai makluk hidup (animal rights).[4] Meskipun hewan tidak dapat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap pengujian klinis bukan berarti hewan bebas untuk dijadikan media uji coba.[5] Justru, hewan dapat merasakan sakit dan penderitaan seperti kurungan, imobilisasi, isolasi dari koloni hewan, paparan bahan kimia korosif dan iritasi, yang berakhir pada pembantaian hewan.[6]

Di sisi lain, pendukung kesejahteraan hewan beranggapan bahwa penggunaan hewan untuk melayani kepentingan manusia diperbolehkan dengan syarat hal tersebut dibutuhkan dan hewan tersebut diperlakukan secara manusiawi.[7] Penggunaan hewan sebagai subjek penelitian harus mempertimbangkan alasan moral terhadap hewan yang dimanfaatkan (respect), menguntungkan atau bermanfaat bagi ilmu pengetahuan (beneficiary) dan harus bersikap adil untuk tidak menggunakan hewan secara terus menerus (justice).[8]

Maka dibuatlah standardisasi yang disebut dengan Animal Welfare Act Regulations (USDA 2005) yang di dalamnya terdapat prinsip “3Rs”.

  1. Replacement yang merujuk kepada metode untuk menghindari penggunaan hewan dengan menggantikannya dengan alternatif lain, seperti sel atau organisme yang lebih rendah[9];
  2. Reduction, merujuk kepada metode yang meminimalkan penggunaan hewan untuk mendapatkankan informasi tanpa meningkatkan rasa sakit atau penderitaan;[10] dan
  3. Refinement merujuk kepada metode dengan meminimalkan atau mengurangi potensi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kesejahteraan untuk kehidupan hewan dengan memodifikasi teknik/metode penelitian.[11]

Selain itu, terdapat pula prinsip 5F (Five Freedom) yang mengacu pada Farm Animal Welfare Council yang menjamin penerapan kesejahteraan pada hewan secara manusiawi yaitu bebas rasa lapar dan haus, rasa panas dan tidak nyaman, rasa nyeri, trauma dan penyakit, ketakutan dan stes jangka panjang, dan mengekspresikan tingkah laku alami.[12]

Regulasi

Hingga saat ini, Indonesia memiliki beberapa peraturan yang mendasari standardisasi kesejahteraan hewan dalam penelitian.[13] Namun, peraturan-peraturan ini tidak mengatur tentang perlindungan ataupun larangan penggunaan hewan dalam industri kosmetik secara spesifik namun cenderung pada perlindungan hewan secara umum.

 Contoh perlindungan hewan laboratorium dapat kita temukan salah satunya di Uni Eropa melalui Regulation (EC) No 1223/2009 of The European Parliament and of The Council on Cosmetic Products (“EC 1223/2019”). Pasal 18 dari EC 1223/2019  mengatur tentang larangan terhadap percobaan kosmetik kepada hewan tanpa memperhatikan kesejahteraan dari hewan tersebut. Ketentuan ini juga memiliki pengecualian dimana animal testing hanya dilakukan terhadap bahan-bahan umum dan tidak ada pengganti, atau terdapat kebutuhan mendasar manusia yang mana mengharuskan adanya animal testing dengan didukung protokol laboratorium yang memadai. Hal ini berawal dari larangan secara menyeluruh terhadap penggunaan hewan untuk keperluan kosmetik di Uni Eropa pada tahun 2013.[14]

 

Kesimpulan

Walaupun secara alamiah hewan dapat dikatakan lebih rendah daripada manusia, hewan juga memiliki hak-hak yang harus dihargai. Hak tersebut diakui melalui serangkaian peraturan seperti dalam Animal Welfare Act Regulations (USDA 2005) ataupun “Five Freedom” yang mengacu pada Farm Animal Welfare Council. Namun, kerap kali hak ini tidak dihiraukan oleh manusia melalui penggunaan hewan dalam percobaan yang tidak manusiawi, salah satunya dalam industri kosmetik. Berangkat dari kenyataan ini muncul kalangan-kalangan yang bergerak untuk menghentikan penggunaan hewan dalam uji coba kosmetik. Uni Eropa telah mengatur larangan terhadap penggunaan hewan dalam uji coba sejak tahun 2013. Hal inilah belum diterapkan di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang mengatur secara spesifik terkait animal testing dalam industri kosmetik. Hal ini menunjukkan kurang-nya tekanan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri kosmetik, yang beroperasi di Indonesia, untuk menghentikan animal testing yang tidak manusiawi.


Daftar Pustaka

Nurunnabi, Abu Sadat Mohammad, et al, “Ethical Debat on Animal Research”, Bangladesh Journal of Bioethics, 2013, 4(3).

Francione, Gary, Introduction to Animal Rights: Your Child or the Dog 45, 2000.

Harriton, Lynne. “Conversation with Henry Spira: Draize test activist.”, The Humane Society Institute for Science and Policy WBI Studies Repository, (1981).

Noah Lewis, Testing Cosmetics on Animals: An Idea Who’s Time Has Gone, LEDA at Harvard Law School, 2005.

Sardjono, Teguh Wahju, “Etika Penelitian Menggunakan Hewan Coba,BBT dan Rekam Medik”, Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakutas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2019.

Wahyuwardani, Sutiastuti, et al. “Etika Kesejahteraan Hewan dalam Penelitian dan Pengujian: Implementasi dan Kendalanya” Vol. 30 No. 4 Th. 2020 Hlm. 211-220

Ban on animal testing,  https://ec.europa.eu/growth/sectors/cosmetics/animal-testing_en#:~:text=The%20cosmetics%20directive%20provides%20the,animal%20testing%20for%20cosmetics%20purposes.&text=The%20same%20provisions%20are%20contained,applies%20since%2011%20September%202004 diakses pada Selasa, 4 Mei 2021 00:41 WIB.

  1. Cunningham, ‘Cruelty-free: The Truth About Animal Testing in the Cosmetics Industry’, IMAGE, 21 October 2018, viewed on 22 August 2019.

Golddigger, “Animal Testing, Like it or Not?,  https://yonulis.com/2019/08/23/animal-testing-like-it-or-not/, Yonulis, diakses pada 2 Mei 2021 pukul 13.55 WIB.

[1] Mahasiswi Fakultas Hukum UGM (2018)

[2] Mahasiswa Fakultas Hukum UGM (2018)

[3] A. Cunningham, ‘Cruelty-free: The Truth About Animal Testing in the Cosmetics Industry’, IMAGE, 21 October 2018, https://www.image.ie/life/animal-testing-125136, diakses pada 3 Mei 2021 pukul 19:10 WIB.

[4] Abu Sadat Mohammad Nurunnabi, et al, “Ethical Debat on Animal Research”, Bangladesh Journal of Bioethics, 2013, 4(3), hlm. 11.

[5] Noah Lewis, Testing Cosmetics on Animals: An Idea Who’s Time Has Gone, https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/8852129/lewis05.html?sequence=2, LEDA at Harvard Law School, 2005.

[6] Noah Lewis, Testing Cosmetics on Animals: An Idea Who’s Time Has Gone, https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/8852129/lewis05.html?sequence=2, LEDA at Harvard Law School, 2005.

[7] Gary Francione, Introduction to Animal Rights: Your Child or the Dog 45, 2000.

[8] Sutiastuti Wahyuwardani et al. “Etika Kesejahteraan Hewan dalam Penelitian dan Pengujian: Implementasi dan Kendalanya”  Vol. 30, No. 4,  2020 Hlm. 211-220

[9]  Sutiastuti Wahyuwardani et al. “Etika Kesejahteraan Hewan dalam Penelitian dan Pengujian: Implementasi dan Kendalanya” , Ibid., hlm. 213.

[10] Ibid., hlm. 214.

[11] Ibid.

[12]  Sardjono, Teguh Wahju, “Etika Penelitian Menggunakan Hewan Coba,BBT dan Rekam Medik”, Komisi Etik Penelitian KesehatanFakutas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2019. Diakses melalui http://fkik.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Etika-Penelitian-Menggunakan-Hewan-Coba-BBT-dan-Rekam-Medis-1 pada 2 Mei 2021.

[13] Lihat Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, Peraturan Pemerintah RI No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan serta UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Satwa jo PP Nomor 7/1999, tentang Pengawetan Jenis satwa tumbuhan.

[14] Ban on animal testing,  https://ec.europa.eu/growth/sectors/cosmetics/animal-testing_en#:~:text=The%20cosmetics%20directive%20provides%20the,animal%20testing%20for%20cosmetics%20purposes.&text=The%20same%20provisions%20are%20contained,applies%20since%2011%20September%202004 diakses pada Selasa, 4 Mei 2021 00:41 WIB.

Leave a comment

Your email address will not be published.