Mengenal Neo-Bank: Tantangan dan Peluang Industri Perbankan di Era Digital

oleh : Nadya Olga Aletha

            Perkembangan teknologi terus mendorong bank untuk melakukan inovasi dan transformasi. Bank digital adalah inovasi dalam industri perbankan berupa peralihan bank konvensional menjadi virtual melalui smartphone apps atau internet based platforms.[1] Bank-bank konvensional terus melakukan inovasi digital ini sebagai salah satu ‘senjata’ dalam persaingannya dengan fintech.

            Transformasi digital dalam dunia perbankan memunculkan istilah baru yaitu “Neo-Bank” yang merupakan sebuah inovasi dalam layanan perbankan konvensional dengan pelayanan yang 100% dilakukan secara digital.[2] Pelayanannya dilakukan secara branchless (tanpa kantor cabang ), berbeda dengan digital banking yang masih menggunakan kantor cabang untuk layanan tertentu. Neo-Bank memberikan layanan perbankan biasa seperti simpanan, pinjaman, pembayaran atau transfer uang, dan layanan perbankan lainnya. Walaupun begitu, hingga saat ini belum ada kesepahaman mengenai konsep Neo-Bank ini yang menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang dapat menjadi penyelenggara Neo-Bank tersebut. Dalam praktiknya, penyelenggara Neo-Bank ada yang berbentuk murni perusahaan yang menjalankan kegiatan perbankan atau perusahaan non-bank yang bekerja sama dengan bank untuk sehingga dapat menawarkan layanan perbankan.[3] Sebagai contoh, perusahaan non bank tersebut dapat berupa perusahaan aplikasi telekomunikasi seperti KakaoBank di Korea dari KakaoTalk, WeBank di Tiongkok dari WeChat, ataupun Volt di Australia.[4]

            Konsep Neo-Bank ini sebaiknya dilihat sebagai kesempatan bagi lembaga keuangan di Indonesia untuk dapat memberikan layanan perbankan yang lebih baik kepada konsumen. Sebut saja keunggulan-keunggulan yang dimiliki Neo-Bank seperti pelayanan lebih cepat, hemat, mudah dan dapat diakses dimana saja. Kemudahan nasabah untuk mengakses layanan yang disediakan Neo-Bank sejalan dengan konsep inklusi keuangan yang hendak dicapai oleh pemerintah melalui strategi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh OJK.[5]

            Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk unbanked terbesar di ASEAN yaitu sebanyak 92 juta orang.[6] Jumlah masyarakat dewasa yang belum mendapatkan akses dan layanan perbankan di Indonesia mencapai 51% dari total penduduk dewasa.[7] Sejalan dengan hal tersebut, OJK membentuk Master Plan yang berisi strategi untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing sektor jasa keuangan di tahun 2021-2025. Salah satu pilarnya adalah mengupayakan akselerasi transformasi digital.[8] Akselerasi tersebut dilakukan dengan mendorong inovasi transformasi digital dan mengembangkan pengaturan yang mendukung ekosistem sektor keuangan digital. Hal ini sejalan dengan kehadiran Neo-Bank yang merupakan salah satu inovasi yang mampu mendorong pertumbuhan sektor keuangan digital dengan meningkatkan indeks inklusi keuangan.

            Peluang perkembangan Neo-Bank di Indonesia cukup besar. Hal ini diprediksi oleh Aviliani, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yang menyatakan dari total 110 bank di Indoneisa terdapat potensi 40 di antaranya beralih menjadi Neo-Bank.[9] Ditambah dengan fakta yang disampaikan oleh Agus Sudiarto sebagai Kepala OJK Institute bahwa penjualan mobile device di Indonesia sudah mencapai 338 juta unit pada tahun 2020 yang dalam hal ini potensi tambahan bagi pertumbuhan Neo-Bank di Indonesia.[10]

            Tantangan utama bagi Neo-Bank di Indonesia dapat dilihat dari segi infrastruktur dan regulasi. Penyelenggara Neo-Bank harus memiliki infrastruktur dan manajemen teknologi informasi yang memadai agar dapat menyelenggarakan layanan perbankan digital dengan baik. Keberadaan infrastruktur dan teknologi yang baik merupakan upaya preventif dalam menanggulangi serangan siber yang terjadi di dunia digital. Data yang dikumpulkan oleh BSSN bahwa sejak Januari-April 2020 sudah tercatat terjadi 88.414.296 kasus serangan siber di Indonesia.[11] Dalam hal regulasi, pembentukan regulasi dan kebijakan yang harmonis dan mampu mengakomodasi pemangku kepentingan dan masyarakat menjadi tantangan bagi OJK.

            Selanjutnya, catatan penting bagi penyelenggara Neo-Bank adalah bagaimana menerapkan inovasi Neo-Bank dengan baik. Pertama, penerapan prinsip kehati-hatian sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan perbankan di Indonesia.[12] Prinsip ini dapat diwujudkan dengan menilai risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi dan cara mitigasinya dalam penyelenggaraan layanan Neo-Bank. Kedua, membangun kepercayaan masyarakat yang merupakan landasan fundamental dari  keberadaan suatu bank itu sendiri. Hal ini menjadi penting karena terdapat peralihan ekosistem perbankan yang pada awalnya dilakukan secara face-to-face menjadi sepenuhnya digital. Ketiga, mitigasi kebocoran data pribadi nasabah dan serangan siber. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip kerahasiaan dalam bank dimana penyelenggara dalam menjalankan layanannya harus merahasiakan informasi mengenai nasabah untuk memberikan rasa aman dalam mengakses layanan Neo-Bank.


[1] Stephen Lumpkins dan Sebastian Schich, “Banks, Digital Banking Initiatives and The Financial Safety Net: Theory and Analytical Framework”, Journal of Economic Science Research, Vol.3, Issue. 1 (January, 2020): 30, https://doi.org/10.30564/jesr.v3i1.1113.

[2] Monika Gudova, “Digital Banking and Neo Banks”, https://www.fintechnews.org/digital-banking-and-neobanks/, diakses 18 Maret 2021.

[3] Dr. Rajeshwari M. Shettar, “Neo-Banks are Changing The Face of Banking”, IOSR Journal of Economics and Finance, Vol. 10, Issue. 5 (September-October, 2019): 5.

[4] Fetry Wuryasti, “Perbankan Hati-hati dengan Neo Bank”, https://mediaindonesia.com/ekonomi/361726/perbankan-hati-hati-dengan-neo-bank, diakses 18 Maret 2021

[5] Salah satu pilar dalam Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia: Memulihkan Perekonomian Nasional serta Meningkatkan Ketahanan dan Daya Saing Sektor Jasa Keuangan Tahun 2021-2025 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan adalah pengembangan ekosistem jasa keuangan yang diwujudkan dengan memperluas akses keuangan dan meningkatkan literasi keuangan masyarakat (Otoritas Jasa Keuangan, “Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia: Memulihkan Perekonomian Nasional serta Meningkatkan Ketahanan dan Daya Saing Sektor Jasa Keuangan”, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Master-Plan-Sektor-Jasa-Keuangan-Indonesia-2021-2025.aspx, diakses 19 April 2021)

[6] Bain & Company, “E-Conomy SEA 2019 Report”, https://www.bain.com/insights/e-conomy-sea-2019/, diakses 18 Maret 2021.

[7] Yudi Ali, “Menimbang Pendirian Bank Digital di Indonesia”, https://news.detik.com/kolom/d-4913266/menimbang-pendirian-bank-digital-di-indonesia, diakses 18 Maret 2021.

[8] Otoritas Jasa Keuangan, “Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia 2021-2025: Memulihkan Perekonomian Nasional serta Meningkatkan Ketahanan dan Daya Saing Sektor Jasa Keuangan”, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Master-Plan-Sektor-Jasa-Keuangan-Indonesia-2021-2025.aspx, diakses 26 Maret 2021.

[9] Novita Intan, “OJK Akan Susun Regulasi Bisnis Neo-Bank”, https://www.republika.co.id/berita/qjz70f457/ojk-akan-susun-regulasi-bisnis-neo-bank, diakses 18 Maret 2021.

[10] Faisal Yunianto, “OJK Institute: Prospek Neo Bank di Indonesia sangat Menjanjikan”, https://www.antaranews.com/berita/1844400/ojk-institute-prospek-neobank-di-indonesia-sangat-menjanjikan, diakses 26 Maret 2021.

[11] Badan Siber dan Sandi Negara, “Rekap Serangan Siber Periode Januari-April 2020”, https://bssn.go.id/rekap-serangan-siber-januari-april-2020/, diakses pada 26 Maret 2021.

[12] Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32).

Ilustrasi gambar : Unsplash.com

Leave a comment

Your email address will not be published.