Perlindungan Hukum Pengguna Layanan Telemedicine Berupa Telekonsultasi Klinis Sebagai Upaya Mewujudkan Aksesibiltas Layanan Kesehatan

Oleh Nadya Olga Aletha

Pada dekade ke-3 abad 21 ini, seluruh layanan fisik telah beralih secara daring. Salah satunya adalah  adalah layanan telemedicine atau layanan kesehatan berbasis online. Telemedicine adalah penyediaan layanan kesehatan jarak jauh oleh tenaga kesehatan profesional menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Batasan kegiatan telemedicine menurut konstruksi hukum Indonesia meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.[1] Telemedicine dilakukan melalui transfer informasi, dengan menggunakan perangkat-perangkat telekomunikasi dengan melibatkan dokter, pasien, dan pihak lain sehingga secara sederhana apabila terdapat diskusi antara 2 dokter yang membicarakan masalah pasien lewat telepon telah dapat disebut sebagai telemedicine.[2] Salah satu bentuk pelayanan telemedicine adalah berupa konsultasi untuk melakukan diagnosis, terapi, dan/atau pencegahan penyakit.[3] Fenomena penggunaan telemedicine di Indonesia dapat dilihat dengan keberadaaan aplikasi Halodoc dan Alodokter yang telah memudahkan masyarakat untuk mendapatkan layanan dan konsultasi kesehatan secara cepat. Pada masa pandemi Covid-19, layanan telemedicine berkembang pesat dengan kenaikan jumlah user dan traffic yang besar.[4] Layanan ini pada intinya digunakan untuk meningkatkan akses kesehatan, kualitas layanan kesehatan, efektivitas kesehatan publik, dan memperbaiki kekurangan jumlah profesional.[5]

Akses kesehatan adalah kemampuan setiap individu untuk mencari pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.[6] Hak untuk mendapatkan akses kesehatan merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal 10 November 1948 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”. Hak dasar ini juga tertuang pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya sebagai bagian dari hak asasi manusia, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak atas kesehatan ini.[7] Tanggung jawab tersebut memiliki makna bahwa pemerintah harus menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap individu untuk hidup sehat, dengan upaya menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat serta bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.[8] Indikator aksesibilitas kesehatan berdasarkan pemanfaatannya tergantung pada keterjangkauan, aksesibilitas fisik, dan pelayanan yang diterima, bukan hanya pada masalah kecukupan supply.[9] Oleh karenanya, pemanfaatan telemedicine sebagai salah satu formulasi untuk membuka akses kesehatan bagi masyarakat seluas-luasnya menjadi salah satu hal yang penting untuk disempurnakan baik dalam hal perlindungan hukumnya maupun dalam hal perbaikan sistemnya.

Penyempurnaan sistem telemedicine yang disisi lain bermanfaat dalam meningkatkan akses kesehatan masyarakat masih harus menempuh jalan panjang. Kelemahan utama dari telemedicine adalah dokter yang tidak dapat memeriksa pasien secara langsung.[10] Disisi lain yang menjadi nilai jual telemedicine adalah fitur chat antara pasien sebagai pengguna dengan dokter. Dokter akan memberikan informasi berkaitan kesehatan pengguna. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada layanan ini ditentukan oleh kualitas informasi kesehatan yang diberikan kepada pengguna.

            Salah satu bentuk pelayanan telemedicine adalah telekonsultasi klinis.[11] Pengaturan mengenai layanan konsultasi medis online (telekonsultasi klinis) secara umum dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengaturan yang lebih khusus mengenai telekonsultasi klinis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Keberadaan payung hukum untuk telekonsultasi klinis disini menjadi penting dikarenakan perlunya penjaminan pertanggungjawaban pemberian informasi kesehatan. Namun, regulasi-regulasi yang ada tersebut kurang mengatur secara lengkap dan detail sehingga kurang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap penggunanya. Hal ini menjadi penting terutamanya karena berkaitan dengan diagnosa pasien. Permasalahan pertama adalah regulasi tersebut tidak mengatur mengenai hubungan dokter dengan pasien/pengguna yang berimplikasi pada tidak adanya ketentuan yang memberikan kejelasan tanggung jawab dokter apabila terdapat kesalahan diagnosis dan/atau pemberian informasi kesehatan/data pribadi pasien/pengguna pada saat melakukan konsultasi online melalui fitur chat. Bahkan pada peraturan menteri kesehatan a quo hanya mengatur antar fasilitas pelayanan kesehatan. Permasalahan kedua adalah baik kementrian kesehatan maupun organisasi dokter di Indonesia belum memberikan panduan dan standarisasi yang jelas penyelenggaraan layanan telemedicine secara umum dan telekonsultasi klinis secara khusus misalnya dari segi pengawasan dan pertanggungjawaban. Walaupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia, sesuai namanya aturan ini hanya diterapkan pada masa Covid-19 saja.[12]  Layanan telekonsultasi klinis ini akan terus memunculkan risiko-risiko yang seharusnya dapat dimitigasi oleh pengaturan hukum yang jelas.

            Oleh karena itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri untuk menyempurnakan peraturan menteri kesehatan yang sudah ada. Pertama, pembentukan regulasi yang mengatur tentang hubungan antara dokter dengan pasien dalam hal sistem pertanggungjawaban penggunaan layanan telemedicine terutama praktik telekonsultasi dengan menggunakan fitur chat. Kedua, memberikan panduan dan standarisasi yang jelas penyelenggaraan layanan telemedicine secara umum dan telekonsultasi klinis secara khusus misalnya dari segi pengawasan dan pertanggungjawaban para pihak seperti dalam hal data pribadi pasien, kesalahan penyampaian informasi, maupun kesalahan diagnosis.


[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 890).

[2] Ken Russel Coelho, 2011, “Identifying Telemedicine Services To Improve Access To Speciality are For The Undeserved In The San Fransisco Safety Net”, Paper, San Fransisco General Hospital & Trauma Center, San Fransisco, 13 May 2011, 14.

[3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 890).

[4] William William, “Tiga Cara Tingkatkan Layanan Kesehatan Via Online di Indonesia yang Makin Populer saat Pandemi”,  https://theconversation.com/tiga-cara-tingkatkan-layanan-kesehatan-via-online-di-indonesia-yang-makin-populer-saat-pandemi-140713 (accessed December 26, 2020)

[5] Richard Wootton et. al, Telehealth in The Developing World (London: Royal Society of Medicine Press, 2009), 3.

[6] Stephen G. Jones, “Development of Multi-dimentional Health Care Access Index”, Proceeding, ESRI Health Geographical Information System Conference, Arizona, 2012, 2.

[7] Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

[8] Muhammad Adli Ikram Arif, “Tinjauan Hukum atas Layanan Medis Berbasis Online”, (Thesis, Universitas  Hasanuddin, Makassar, 2018), 1.

[9] Gulliford et al, “What does ‘access to health care’ mean?”, Journal of Health Services Research & Policy, Vol. 7, No. 3,  (July, 2002): 7.

[10] Ahmad Efendi, “Mengenal Telemedicine Beserta Kelebihan dan Kekurangannya”, https://tirto.id/mengenal-telemedicine-beserta-kelebihan-dan-kekurangannya-fsnL (accessed December 26, 2020)

[11] Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan,

“Pelayanan Telemedicine sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pelayanan: a. Teleradiologi; b. Teleelektrokardiografi; c. Teleultrasonografi; d. Telekonsultasi Klinis; dan pelayanan konsultasi Telemedicine lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”

[12] Arthur H.P Mawuntu dan Ralalicia Limato, “Telekonsultasi Medis Meningkat Pesat Saat Pandemi Covid-19, tapi Muncul Tiga Masalah Baru”, https://theconversation.com/telekonsultasi-medis-meningkat-pesat-saat-pandemi-covid-19-tapi-muncul-tiga-masalah-baru-140228 (accessed May 25, 2021)

Ilustrasi gambar : Pexels.com

Leave a comment

Your email address will not be published.