Oleh Stephanie Tambunan
‘Doping’ pada umumnya mengacu pada tindakan melawan hukum penggunaan obat yang meningkatkan performa atau mengandalkan tindakan medis untuk meningkatkan performa fisik dan mental.[1] World Anti-Doping Association (“WADA”) menganggap ‘doping’ sebagai upaya curang yang bertentangan dengan integritas dan nilai intrinsik olahraga (‘the spirit of sports’), yakni standar untuk memastikan para atlet bertanding secara adil dan setara.[2] Berbagai organisasi kompetisi olahraga di seluruh dunia telah melarang dan menetapkan konsekuensi berat untuk doping. Sebagai contoh, atlet bersepeda Lance Armstrong dilucuti ketujuh rekor gelar Tour de France dan beliau didiskualifikasi seumur hidup[3]; Ben Johnson pelari cepat asal Kanada dilucuti medali emasnya dari Seoul Olympics 1998[4]; bahkan dari Indonesia, perenang Indra Gunawan terkena hukuman larangan tanding selama dua tahun oleh Fédération internationale de natation (“FINA”) akibat dari tindakan doping.[5]
Isu mengenai doping telah berkembang dengan timbulnya istilah ‘technological doping’ akibat kemajuan teknologi yang telah meluncurkan berbagai perlengkapan olahraga dengan fitur high-tech, Technological Doping bukan menyangkut peningkatan performa secara fisiologis, melainkan peningkatan performa dari segi perlengkapan olahraga yang digunakan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.[6] Pada kasus Lance Armstrong, beliau mengonsumsi EPO yang merupakan obat terlarang yang terdaftar pada WADA Prohibited List dan dilarang dalam World Anti-Doping Code.[7] Menyembunyikan motor elektrik dalam rangkaian sepeda yang dilakukan Femke Van den Driesshe dianggap sebagai mechanical doping, yang melanggar peraturan Union Cycliste Internationale (“UCI”).[8] Kedua kasus ini merupakan contoh doping yang tidak dihiraukan lagi sebagai kecurangan. Namun, bagaimana cara menyikapi atlet yang mengenakan keunggulan teknologi seperti peralatan olahraga yang lebih ringan, bahan-bahan aerodinamis, dan inovasi teknologi lain yang menambah keuntungan marginal?
Beberapa Contoh Peralatan Olahraga yang dianggap sebagai Technological Doping
LZR Racer adalah baju renang yang diluncurkan Speedo menggunakan bahan berteknologi tinggi dari tenunan nilon elastane dan poliuretan. Di Beijing Olympics 2008, 23 dari 25 rekor dunia yang dipecahkan diraih oleh perenang yang memakai LZR Racer. Baju renang tersebut mampu mengalirkan oksigen lebih baik ke otot, menahan tubuh dalam posisi yang lebih hidrodinamis, dan menjebak udara sehingga menambah daya apung perenang.[9] Menanggapi kejadian-kejadian tersebut, mulai dari tahun 2010 FINA resmi melarang LZR Racer dengan dasar technological doping; “FINA ingin mengingat prinsip utama dan inti bahwa renang adalah olahraga yang didasarkan pada kinerja fisik atlet”.[10] Pengesahan regulasi baru FINA Criteria for Materials and Approval Procedures, mengatur dalam berkompetisi, perlengkapan olahraga renang (1) tidak boleh menutupi leher; (2) tidak boleh melewati bahu dan pergelangan kaki; dan (3) ketebalan baju renang dipastikan tidak membantu kecepatan, daya apung, dan endurance atlet.[11]
Setiap Rekor Dunia perlombaan lari 5 km hingga maraton telah dipecahkan sejak diperkenalkannya sepatu lari berteknologi Carbon Fiber Plates (“CFP”) pada tahun 2016.[12] Peningkatan performa dari CFP sebanding dengan peningkatan hasil doping EPO sebesar 4-6%.[13] Pada tahun 2019, rekor dunia maraton dipecahkan Eliud Kipchoge sambil mengenakan Nike Vaporfly4% versi khusus (“Alphafly”). Di tahun yang sama, Abraham Kiptum memecahkan rekor dunia half marathon dengan mengenakan Nike Vaporfly4%.[14] Nama Vaporfly4% mencerminkan peningkatan performa lari sebesar 4% yang dihasilkan dari fitur CFP yang memanjang dari tumit hingga ujung kaki, sol tebal, serta bahan lainnya yang menghasilkan pergerakan kaki lebih efisien. Melainkan Alphafly yang digunakan Kipchoge dilaporkan menggunakan tiga kali CFP didalam sepatu yang semakin meningkatkan mekanisme kaki sang atlet.[15] Walaupun ada kritik yang menganggap penggunaan Vaporfly4% dianggap sebagai kecurangan, World Athletics pada tahun 2020 memutuskan Vaporfly4% tidak dilarang karena tidak terbukti telah meningkatkan performa atlet namun hanya berkontribusi pada efisiensi mekanisme kaki.[16] Menurut CEO Nike, teknologi pada Vaporfly4% “hanya menggunakan bahan yang sama dimasukkan ke dalam sepatu biasa dan menyatukannya dengan cara inovatif yang memungkinkan atlet berlari dengan terbaik dan aman”.[17] Namun, melalui kejadian ini, World Athletics mengesahkan regulasi baru yang menetapkan beberapa batasan terhadap material yang digunakan untuk sepatu yang digunakan dalam pertandingan.
Pertimbangan hukum dan etika: Suatu pemilihan teknologi secara strategik atau merupakan sebuah pelanggaran the spirit of sports.
Dari sisi legalitas, WADA Prohibited List belum mendaftarkan suatu teknologi perlengkapan olahraga sebagai bentuk doping. Namun, sebuah zat atau metode dapat dianggap doping apabila memenuhi dua dari tiga kriteria berikut; (1) memiliki potensi untuk meningkatkan performa olahraga; (2) merupakan risiko kesehatan aktual atau potensial pada atlet; dan (3) melanggar ‘the spirit of sports’.[18] Selain acuan dari WADA, kriteria perlengkapan olahraga yang diperbolehkan dalam berkompetisi diatur oleh organisasi kompetisi olahraga. Kemajuan teknologi seringkali diizinkan, kecuali otoritas merasa hal itu melanggar ‘integritas olahraga’ seperti di kasus FINA terhadap LZR Racer dan World Athletics terhadap Alphafly.
Sementara, sisi etis (nilai integritas dalam olahraga) penggunaan teknologi seperti yang telah dijelaskan telah memunculkan keprihatinan publik. Pada intinya, pendapat ini menyatakan bahwa potensi penggunaan teknologi dapat mereduksi pemaknaan atas upaya atletik manusia dengan cara membuat olahraga tertentu menjadi lebih mudah, menciptakan ketidakadilan terhadap atlet yang unggul secara fisik, dan memastikan bahwa atlet dari negara yang memiliki kemajuan secara teknologi lebih unggul dibandingkan dengan atlet dari negara yang tidak memiliki keunggulan teknologi.[19]
Penutup
Status perlengkapan olahraga high-tech merupakan kemajuan sekaligus ancaman pada dunia olahraga. Organisasi olahraga memiliki peran yang besar dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan terkait perlengkapan olahraga high-tech. Pengaturan yang telah ada saat ini cenderung mengatur kriteria, bentuk, dan komponen yang diperbolehkan pada suatu perlengkapan olahraga.
Untuk menyeimbangkan antara perkembangan teknologi dan ‘the spirit of sports’, organisasi olahraga sebaiknya melarang suatu perlengkapan olahraga dengan bahan tertentu yang menyebabkan keunggulan kompetitif yang tidak adil atau setidaknya membatasi komposisi bahan dalam perlengkapan terkait. Selain itu, organisasi olahraga juga dapat mengeluarkan kebijakan anti-doping dengan mempertimbangkan pertumbuhan teknologi. Sebagai penutup, fenomena technological doping telah memberikan suatu urgensi pada masyarakat, khususnya regulator, untuk mengevaluasikan kembali pengaruh teknologi terhadap filosofi dan esensi dari olahraga.
[1] World Anti-Doping Code 2021 Pasal 1-2.
[2] Reese, Jonathan., 2017, Doping in Sport and the Law edited by Ulrich Haas and Deborah Healey, Hart Publishing Ltd, Oxford.
[3] Armstrong Ends Fight Against Doping Charges, https://www.nytimes.com/2012/08/24/sports/cycling/lance-armstrong-ends-fight-against-doping-charges-losing-his-7-tour-de-france-titles.html, diakses pada tanggal 28 Desember 2020.
[4] Dealing with doping: Sports world can learn from Canada and Ben Johnson legacy, https://www.cbc.ca/news/thenational/sport-doping-scandal-ben-johnson-russia-ioc-steroids-1.4511130, diakses pada tanggal 28 Desember 2020.
[5] Putting it briefly: PRSI to challenge FINA in doping case, https://www.thejakartapost.com/news/2014/03/18/putting-it-briefly-prsi-challenge-fina-doping-case.html, diakses pada tanggal 28 Desember 2020.
[6] Technology Doping In The Olympics: Cheating or Progress, https://breakingmuscle.com/fitness/technology-doping-in-the-olympics-cheating-or-progress, diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[7] Lance Armstrong Receives Lifetime Ban And Disqualification Of Competitive Results For Doping Violations Stemming From His Involvement In The United States Postal Service Pro-Cycling Team Doping Conspiracy, https://www.usada.org/sanction/lance-armstrong-receives-lifetime-ban-and-disqualification-of-competitive-results-for-doping-violations-stemming-from-his-involvement-in-the-united-states-postal-service-pro-cycling-team-doping-conspi/#:~:text=Armstrong’s%20comeback%20to%20cycling%20in,testosterone%2C%20corticosteroids%20and%20masking%20agents. diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[8] Ketentuan yang dilanggar adalah Pasal.1.3.010 dan Pasal.12.013bis yang pada intinya mengatur ketentuan teknis dan bentuk sepeda; lihat juga Van den Driessche handed six-year ban for mechanical doping, https://www.cyclingnews.com/news/van-den-driessche-handed-six-year-ban-for-mechanical-doping/, diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[9] Space-age suits race into uncharted waters, https://www.reuters.com/article/uk-swimming-bodysuits-idUKSP21700020080415, diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[10] High-tech suits banned from January, http://news.bbc.co.uk/sport2/hi/other_sports/swimming/8161867.stm, diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[11] FINA Criteria for Materials and Approval Procedures Pasal 4.1.1.-4.1.5.
[12] Technological Fairness or Technological Doping? https://basem.co.uk/technological-fairness-or-technological-doping/, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
[13] Haile DW, Durussel J, Mekonen W, Ongaro N, Anjila E, Mooses M, et al., “Effects of EPO on Blood Parameters and Running Performance in Kenyan Athletes”, Medicine & Science in Sports & Exercise, Vol. 51, No. 2, Februari 2019.
[14] Eliud Kipchoge Breaks Two-Hour Marathon Barrier, https://www.nytimes.com/2019/10/12/sports/eliud-kipchoge-marathon-record.html, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
[15] Everything We Know About Eliud Kipchoge’s Barrier-Breaking Shoes, https://www.runnersworld.com/gear/a29447426/eliud-kipchoge-shoes/, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
[16] Fair is unfair – Are my Nike 4% runners a sporting advantage, https://www.irishtimes.com/sport/other-sports/fair-is-unfair-are-my-nike-4-runners-a-sporting-advantage-1.3803233, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
[17] Nike launches new, legal Alphafly shoe to outrun ‘tech doping’ furore. https://in.reuters.com/article/athletics-shoe-idINKBN2011RG, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
[18] Prohibited List Q&A, https://www.wada-ama.org/en/questions-answers/prohibited-list-qa, diakses pada tanggal 30 Desember 2020.
[19] Are Humans or Technology Breaking Olympic Records?, https://www.nbcnews.com/id/wbna48468317, diakses pada tanggal 29 Desember 2020.
Ilustrasi gambar : Pexels.com