Oleh: Haryo Putro D.
Internet dewasa ini digunakan pada setiap aspek kehidupan manusia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 6 dari 10 negara pengguna internet terbesar di dunia, dengan jumlah pengguna internet sebanyak 143,26 juta.[1] Masifnya pemanfaatan teknologi internet di Indonesia memberikan dampak terhadap berbagai sektor, salah satunya terhadap sektor bisnis dan ekonomi melalui kemunculan financial technology (selanjutnya disebut sebagai “fintech”).
National Digital Research Center (NDRC) mendefinisikan fintech sebagai inovasi pada sektor jasa keuangan, yakni sebagai inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern.[2] Sebagai salah satu bentuk penerapan teknologi informasi di bidang keuangan, saat ini fintech mampu melayani electronic money, virtual account, aggregator, lending, crowdfunding dan transaksi keuangan online lainnya. Adapun dari fintech yang telah beroperasi, sebagian ada yang didirikan oleh perusahaan berbasis konvensional, tetapi tidak sedikit pula yang merupakan perusahaan rintisan atau startup.[3] Salah satu inovasi fintech yang sering digunakan saat ini adalah peer-to-peer lending (selanjutnya disebut sebagai “P2P Lending”), yakni layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur (lender) dan debitur (borrower) berbasis teknologi informasi.[4] Berkat kehadiran P2P Lending, seseorang dapat mengajukan pinjaman secara online dari rumah tanpa memerlukan jaminan dan waktu yang lama, hanya dengan bermodalkan smartphone dan koneksi internet.
Menurut Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) dan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Sektor P2P Lending berkontribusi sebesar Rp60 triliun terhadap perekonomian nasional, menambah 362 ribu orang tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung, serta berdampak terhadap penurunan kemiskinan sebanyak 177 ribu orang.[5] Meskipun begitu, terdapat beberapa risiko dan dampak negatif dari inovasi P2P Lending yang perlu diwaspadai, salah satunya adalah peningkatan budaya konsumerisme masyarakat Indonesia dengan semakin menjamurnya platform marketplace yang membantu masyarakat untuk mengajukan pinjaman guna memenuhi kebutuhan konsumtif.
Belum kunjung berakhirnya pandemi COVID-19, mengakibatkan banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan mengakhiri hubungan kerja dengan karyawannya. Situasi ini semakin menempatkan masyarakat yang tengah membutuhkan uang secara darurat untuk menjadi target empuk dalam sasaran penipuan online.[6] Sampai bulan Juni tahun 2021, Satuan Tugas Waspada Investasi menemukan dan memblokir sebanyak 3.193 platofrm P2P lending ilegal.[7] Para oknum penipu sering mengatasnamakan diri mereka sebagai pihak marketing dari suatu perusahan P2P Lending untuk mengiming-imingi masyarakat dengan tawaran untuk meminjamkan dana.[8]
P2P lending ilegal dapat diidentifikasi melalui ciri-ciri berikut: 1) Perusahaan tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK); 2) Perusahaan tidak terdaftar sebagai anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yakni asosiasi resmi yang menaungi industri P2P Lending; 3) Perusahaan memberikan biaya dan denda yang sangat besar dan tidak transparan; 4) Perusahaan tidak tunduk pada Peraturan OJK (POJK), dan berpotensi tidak tunduk pada peraturan dan undang-undang lain yang berlaku; 5) Perusahaan belum berpengalaman menyelenggarakan operasi fintech; 6) Perusahaan tidak mengikuti tata cara penagihan yang beretika dan sesuai aturan. Misalnya, dalam praktiknya, sering terjadi penagihan dengan cara-cara kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan hukum.[9] Kegiatan usaha fintech ilegal juga tidak diawasi oleh OJK, sehingga kemungkinan atas risiko pelanggaran seperti bunga pinjaman tinggi, hingga pencurian data pribadi semakin besar untuk terjadi. Hal ini turut diperparah dengan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai fintech, yang menyebabkan mudah tergiurnya masyarakat akan kemudahan pinjaman dana, tanpa menyadari risiko yang mengikutinya.
Penegakan Hukum P2P Lending
Di Indonesia, OJK sebagai regulator sektor jasa keuangan telah mengatur P2P Lending melalui Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK tentang Fintech Peer-To-Peer Lending).
Penegakan hukum terhadap penyelenggara P2P Lending ilegal dapat berupa sanksi administratif yakni peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin serta berupa sanksi pidana yang diterapkan secara kasus per kasus.[10] Beberapa pasal yang bisa digunakan ialah penyebaran data pribadi[11], pengancaman dalam penagihan[12], serta penipuan.[13]
Dalam praktik penegakan hukumnnya, Tim Satuan Tugas Waspada Investasi sebagai sebuah satuan tugas yang memiliki tugas utama menginventarisasi kasus-kasus investasi ilegal, menganalisis kasus-kasus, menghentikan atau menghambat maraknya kasus investasi bodong, memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, meningkatkan koordinasi penanganan kasus dengan instansi terkait, melakukan pemeriksaan secara bersama atas kasus investasi ilegal berdasarkan Surat Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor:Kep-208/BL/2007 tanggal 20 Juni 2007 untuk masa kerja tahun 2007 yang diperbaharui setiap tahunnya. Setelah beralihnya tugas dan fungsi Bapepam-LK ke OJK sejak 31 Desember 2011, Surat Keputusan tersebut diperbaharui melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor 01/KDK.04/2013 tanggal 26 Juni 2013. Pada Maret tahun 2019, Satuan Tugas Waspada Investasi baru saja memblokir sebanyak 168 entitas yang melanggar POJK tentang Fintech Peer-To-Peer Lending.[14] Entitas penyelenggara P2P Ilegal ini terbukti melakukan pelanggaran, yakni melakukan kegiatan usaha P2P Lending yang tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dari OJK, menetapkan bunga yang terlampau tinggi, serta melakukan penagihan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum.
Lebih lanjut, Tim Satuan Tugas Waspada Investasi mengakui sulitnya untuk menindak berbagai P2P Lending ini, sebab entitas ilegal yang telah diblokir terus bermunculan kembali.[15] Oleh karena itu, dalam menyikapi hal ini, diperlukan juga pemahaman dari masyarakat untuk lebih berhati-hati serta mengetahui ciri-ciri dari fintech ilegal agar terhindar dari jerat penipuan.[16] Selain melalui pemblokiran fintech ilegal, juga dibentuk sistem penerimaan aduan. Apabila masyarakat berurusan dengan layanan P2P Lending ilegal, masyarakat dapat melaporan ke OJK serta pihak berwajib dengan: 1) Mengumpulkan bukti-bukti seperti teror, ancaman, intimidasi, pelecehan, atau hal tidak menyenangkan lainnya; 2) Melaporkan bukti-bukti tersebut ke polisi untuk membuat laporan; 3) Mengirimkan pengaduan ke situs resmi OJK di https://konsumen.ojk.go.id/formpengaduan/ atau kontak OJK di hotline 157; 4) Mengirimkan laporan ke situs resmi AFPI di https://afpi.or.id/pengaduan.[17]
Berkaca dengan Pengawasan P2P Lending di Singapura
Menelisik negara tetangga, Singapura, sebagai negara yang dikenal memiliki regulasi yang baik dalam mengatur berbagai sektor, pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi P2P Lending di Singapura dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS). MAS bekerja sama dengan berbagai lembaga keuangan untuk memastikan Singapura terus berkembang sebagai pusat keuangan regional dan internasional, serta bertanggung jawab dalam menjaga ekosistem dan semangat industri keuangan Singapura yang kompetitif. Regulasi mengenai jasa P2P Lending tersebar di beberapa pengaturan seperti Securities and Futures Act, Financial Advisers Act, Moneylenders Act, dan Payment Services Act.[18] Dalam hal penegakan hukum terhadap jasa P2P Lending ilegal, Singapura menerapkan sanksi berupa denda dan pidana penjara yang bergantung terhadap bentuk pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh, apabila terdapat suatu P2P Lending ilegal yang melakukan pelanggaran data pribadi, dapat dikenakan sanksi denda tidak lebih dari SGD 10,000 atau pidana penjara selama dan atau tidak lebih dari 3 tahun berdasarkan Personal Data Protection Act.[19]
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penegakan P2P Lending ilegal antara Indonesia dan Singapura memiliki sejumlah kesamaan, yaitu dalam hal sanksi administratif berupa denda yang diterapkan, serta pidana penjara yang dapat diberikan, dengan bergantung pada pelanggaran yang terjadi secara kasus per kasus. Disisi lain, Indonesia dan Singapura memiliki perbedaan dalam aspek perilaku konsumen. Di Singapura, pinjaman digunakan untuk alasan yang mendesak seperti biaya tambahan untuk masalah kesehatan. Lain halnya dengan Indonesia yang cenderung menggunakan pinjaman untuk kebutuhan konsumtif. [20]
Kesimpulan dan Saran
Di masa datang, untuk menekan maraknya P2P Lending Ilegal di Indonesia, pemerintah diharapkan dapat memperkuat kerangka regulasi serta institusi untuk memberikan perlindungan lebih terhadap masyarakat pengguna jasa P2P Lending. Salah satu aspek regulasi yang harus diperkuat dalam penegakan hukum P2P Lending ilegal adalah dalam sektor perlindungan data pribadi. Contohnya, dengan berkaca pada Singapura yang telah memberikan jaminan perlindungan data pribadi melalui Personal Data Protection Act 2012 yang baru saja diamandemen pada tahun 2020, serta Public Sector Governance Act 2018.[21] Di Indonesia, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur tentang perlindungan privasi dan data pribadi. Sejauh ini, hanya terdapat peraturan pada tingkat peraturan menteri, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Privasi dalam Sistem Elektronik. Peraturan Menteri ini pun dinilai belum efektif, terutama dalam rangka mengikuti perkembangan teknologi.[22] Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi sebagai salah satu kerangka hukum untuk memitigasi risiko fintech ilegal, khususnya pada P2P Lending. Dari segi tataran praktis, pemerintah diharuskan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait layanan P2P Lending guna menghindarkan masyarakat dari jerat penipuan P2P Lending.
[1]Wicak Hidayat, “Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia” https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam dunia/0/sorotan_media”, diakses 5 Mei 2021.
[2] Rani Maulida, “Fintech: Pengertian, Jenis, Hingga Regulasinya di Indonesia”, https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/fintech, diakses 5 Mei 2021.
[3] Muhammad Rizal, ” FINTECH AS ONE OF THE FINANCING SOLUTIONS FOR SMEs” https://jurnal.unpad.ac.id/adbispreneur/article/view/17836/9229, diakses 4 Juli 2021
[4] Pasal 1 angka 3 Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
[5] INDEF dan Asosiasi Fintech Indonesia. “Studi Dampak Fintech P2P Lending terhadap Perekonomian Nasional”, https://indef.or.id/source/research/Studi%20Dampak%20Fintech%20P2P%20Lending%20terhadap%20Perekonomian%20Nasional.pdf, diakses 16 Mei 2021.
[6] Otoritas Jasa Keuangan, “Siaran Pers Waspadai Penawaran Fintech Lending Dan Penawaran Investasi Tanpa Izin Di Masa Pandemi Covid-19”, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Waspadai-Penawaran-Fintech-Lending-dan-Penawaran-Investasi-Tanpa-Izin-di-Masa-Pandemi-Covid–19.aspx, diakses 16 Mei 2021.
[7] Desy Setyowati, “https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/60c2fe6f21b91/satgas-waspada-investasi-blokir-3193-pinjaman-online-ilegal”, diakses 19 Juli 2021
[8] Indra Cahya, “Tips Kenali Fintech Ilegal dan Cara Melaporkannya ke Pihak Berwajib, Waspada!”, https://www.merdeka.com/teknologi/tips-kenali-fintech-ilegal-dan-cara-melaporkannya-ke-pihak-berwajib-waspada.html, diakses 5 Mei 2021.
[9] Otoritas Jasa Keuangan, “Bahaya Fintech P2P Ilegal”, https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/direktori/fintech/Documents/P2PL%20legal%20vs%20ilegal.pdf, diakses 16 Mei 2021.
[10] Merujuk pada Pasal 47 angka 1 Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016.
[11] Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE
[12] Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE
[13] Pasal 378 KUHP
[14] Otoritas Jasa Keuangan, “Siaran Pers : Satgas Waspada Investasi Hentikan Kegiatan 168 Entitas Fintech Ilegal dan 47 Entitas Investasi Ilegal”, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/-SIARAN-PERS-Satgas-Waspada-Investasi-Hentikan-Kegiatan-168-Entitas-Fintech-Ilegal-dan-47-Entitas-Investasi-Ilegal.aspx”, diakses 4 Juli 2021.
[15] Mochamad Januar Rizki, “Fintech Ilegal, Diblokir Satu Tumbuh Seribu”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c9c9a5e9f066/fintech-ilegal–diblokir-satu-tumbuh-seribu, diakses 5 Mei 2021.
[16] Ibid.
[17] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia No. 18 /POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan
[18] The ICLG, Singapore: Fintech 2019, https://iclg.com/practice-areas/fintech-lawsand-regulations/singapore, diakses 16 Mei 2021
[19] Ibid.
[20] U Yunus, “A Comparison Peer to Peer Lending Platforms in Singapore and Indonesia”, The 3rd International Conference on Computing and Applied Informatics 2018 https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1235/1/012008/pdf, diakses 16 Mei 2021.
[21] Raila, Tiara Almira, Sinta Dewi Rosadi, Rika Ratna Permata. Perlindungan Data Privasi Di Indonesia Dan Singapura Terkait Penerapan Digital Contract Tracing Sebagai Upaya Pencegahan COVID-19 Serta Tanggung Jawabnya, Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2, no. 1 (December 2020). Accessed May 11, 2020. https://jurnal.um palembang.ac.id/KHDK/article/viewFile/3044/2188#:~:text
[22] Ibid.
Ilustrasi gambar : Unsplash.com