Oleh : Kristianus Jimy Pratama, Revan Ananda Putra
Perkembangan teknologi secara faktual telah mendorong pertumbuhan aspek digitalisasi di Indonesia secara signifikan. Pertumbuhan aspek digitalisasi tersebut kemudian terejawantahkan pada konstruksi dari konvergensi hukum telematika, dimana salah satu hasil luaran (output) dari konvergensi hukum telematika adalah pengaturan hukum pada ranah aktivitas dunia siber.[1] Salah satu pengaturan hukum pada ranah aktivitas dunia siber adalah berkaitan dengan penggunaan internet. Internet telah menjadi sarana perjumpaan internet service provider (ISP) dan pengguna secara berkelanjutan. Apabila ditinjau secara saksama, penggunaan internet secara khusus dalam bidang media dan telekomunikasi memiliki peran strategis dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan internet sebagai sarana perjumpaan antara para pengguna secara kontinuitas telah menempatkan internet sebagai entitas yang bersifat luwes. Sehingga terdapat urgensi untuk mengatur penggunaan internet hingga pengawasan terhadap implementasinya secara komprehensif. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kerumitan dalam hal mengatur konstruksi internet.[2]
Salah satu bentuk pengaturan entitas internet di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (“PP Postelsiar”). Ketentuan Pasal 15 ayat (1) PP Postelsiar pada pokoknya menerangkan bahwa pelaku usaha baik nasional ataupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, non diskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip adil, wajar dan non diskriminatif yang termuat dalam ketentuan a quo memiliki nuansa yang sejalan dengan konstruksi prinsip network atau net neutrality. Pada dasarnya, prinsip net neutrality mewajibkan ISP untuk memperlakukan akses data yang dilakukan oleh seluruh pengguna secara non diskriminatif.[3] Melalui penerapan prinsip net neutrality secara mutlak, ISP tidak dapat melakukan pembatasan akses data terhadap pengguna internet secara diskriminatif. Selain itu dengan menerapkan prinsip net neutrality secara mutlak, aksesibilitas terhadap seluruh data dan jaringan komunikasi dapat dilakukan oleh para pengguna akan dilakukan pembatasan. Namun meskipun demikian, penerapan prinsip net neutrality belum diatur secara seragam dan belum menjadi suatu kewajiban internasional untuk dapat diadopsi secara universal. Sehingga masih terdapat ruang kebijakan bagi setiap negara untuk menentukan pendekatannya masing-masing dalam hal tata kelola internet. [4]
Apabila mencermati hubungan korelatif antara ketentuan a quo dan dinamika perkembangan telematika secara sehat, prinsip net neutrality seyogyanya diadopsi berdasarkan asas proporsionalitas. Penerapan prinsip net neutrality secara proporsional yang dimaksud adalah diterapkannya prinsip net neutrality dengan didasarkan pada nilai-nilai kewajaran. Dimana nilai-nilai kewajaran tersebut meliputi pada norma hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Salah satu nilai kewajaran yang dimaksud adalah dengan membatasi para pengguna untuk mengakses konten negatif sebagaimana telah dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini sekaligus untuk meminimalisir dampak diterapkannya prinsip net neutrality secara mutlak. Pembatasan terhadap konten negatif secara komprehensif namun tetap mempertahankan aksesibilitas data dan jaringan internet oleh pengguna secara wajar menunjukkan bahwa prinsip net neutrality dapat diterapkan secara proporsional terbatas.
Penulis beranggapan bahwa prinsip net neutrality dapat diterapkan secara luwes, namun pengaturan secara lebih lanjut mengenai penerapan prinsip net neutrality juga diperlukan untuk menciptakan sebuah kepastian hukum baik kepada ISP hingga para pengguna. Hal ini sejalan dengan pernyataan Edmon Makarim yang menerangkan bahwa penyelenggaraan jasa dan jaringan komunikasi harus dapat menjalankan prinsip net neutrality secara baik.[5] Selain itu, implementasi hukum juga harus mendapatkan dukungan masyarakat sehingga keberlakuan hukum juga memenuhi unsur sosiologis pembentukan norma hukum termasuk dalam kontruksi pembangunan hukum telematika.
[1] Ahmad M. Ramli, “Dinamika Konvergensi Hukum Telematika Dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Legislasi Indonesia 5, no. 4 (Desember 2018): 3.
[2] Christopher T. Marsden, Net Neutrality Towards a Co-regulatory Solution (London: Bloomsbury Academic, 2010), 212.
[3] Jennifer A. Manner dan Alejandro Hernandez, “An Overlooked Basis of Jurisdiction for Net Neutrality: The World Trade Organization Agreement on Basic Telecommunications Services”, Commlaw Conspectus 22 (2014): 57 dalam Rizky Banyualam Permana, “Network Neutrality: Standar Baru Dalam Tata Kelola Internet?”, Jurnal Mimbar Hukum 31, no.3 (Oktober 2019): 450.
[4] Ibid., 463.
[5] Edmon Makarim, “Kerangka Kebijakan Dan Reformasi Hukum Untuk Kelancaran Perdagangan Secara Elektronik (E-Commerce) di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 43, no.3 (Juli-September 2013): 297.
ilustrasi gambar : Unsplash.com